Jumat, 07 Juli 2017

Patofisiologi dan Diagnosis Osteoporosis



Patofisiologi dan Diagnosis Osteoporosis
Alwi Shahab
Subbagian Endokrinologi Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
                                                              Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum Pusat dr. Mohammad Hoesin (RSMH)
Palembang

I. Pendahuluan
Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu kelompok kelainan metabolisme tulang yang ditandai dengan penurunan massa tulang (osteopenia). Jaringan tulang (terutama trabekula) akan menjadi tipis dan keropos, akibat tidak adanya kompensasi terhadap kehilangan mineral dan matriks tulang. Sejalan dengan progresivitas penurunan massa tulang, akan terjadi kerusakan mikro arsitektur jaringan tulang yang mengalami osteoporosis sehingga akan memudahkan terjadinya patah tulang. Prevalensi osteoporosis meningkat dengan pertambahan usia baik pada laki-laki maupun wanita, walaupun wanita akan lebih mudah terjadi osteoporosis setelah menopause. Laki-laki juga akan dapat mengalami kondisi ini walaupun secara umum angka kejadiannya lebih rendah  karena massa tulang pada laki-laki lebih besar dan adanya efek anabolik protektif dari androgen. Osteoporosis primer secara klinis dapat diklasifikasikan kedalam 2 tipe utama, yaitu postmenopause (defisiensi estrogen; tipe I) dan age-related (senile; tipe II). Osteoporosis tipe I dapat terjadi pada wanita usia antara 55 sampai 75 tahun, yang terjadi akibat hilangnya estrogen dari ovarium, sementara tipe II dapat terjadi baik pada laki-laki maupun wanita usia antara 70 sampai 75 tahun, terjadi akibat gangguan efisiensi progresif dari proses remodeling tulang dan menurunnya pembentukan 1,25-(OH)2D3 di ginjal dan gangguan absorpsi Ca+2 diusus halus yang berhubungan dengan proses menua. Peningkatan massa tulang terutama terjadi selama masa adolesens, yang mencapai puncaknya pada awal usia dewasa (sekitar 30 tahun), kemudian akan terus mengalami penurunan. Pembangunan arsitektur tulang sangat tergantung kepada kecukupan asupan kalsium didalam diet, kadar estrogen/ androgen didalam sirkulasi darah dan aktivitas fisik serta faktor-faktor genetik. Pada usia tua, kepadatan tulang ditentukan oleh puncak massa tulang yang dicapai pada awal usia dewasa dan jumlah kehilangan massa tulang berikutnya; setelah usia 55 sampai 60 tahun, baik pada laki-laki maupun wanita laju kehilangan massa tulang diperkirakan sebanyak 1% pertahun.
Kehilangan massa tulang juga dapat mengalami peningkatan karena adanya kelainan-kelainan endokrin, pemakaian glukokortikoid jangka panjang atau immobilisasi yang lama. Setelah menopause, laju kehilangan tulang pada wanita akan semakin cepat karena terhentinya produksi estrogen (diperkirakan sebanyak 15% massa tulang akan berkurang dalam waktu 5 sampai 10 tahun). Pada laki-laki, karena tidak terjadi menopause sebagaimana pada wanita, maka risiko untuk terjadinya patah tulang lebih rendah. Pada osteoporosis, sebagaimana pada hipertensi, terdapat periode laten yang panjang sebelum timbul gejala-gejala dan tanda-tanda klinis, dimana terkadang pasien belum menunjukkan gejala awal. Namun pada beberapa pasien dapat ditemukan gejala-gejala awal sebagai berikut :
1. Nyeri tulang karena fraktur (dapat terjadi spontan atau akibat trauma ringan) atau nyeri punggung yang berat karena fraktur kompresi tulang belakang (columna vertebralis).
2. Tinggi badan yang berkurang dan timbulnya kiposis dorsalis (lengkung tulang belakang bertambah; dowager's hump). Kedua keadaan ini merupakan tanda-tanda klasik dari osteoporosis yang jelas.
3. Fraktur. Karena osteoporosis meningkatkan fragilitas dari arsitektur tulang rangka, fraktur dapat terjadi dimana saja, namun lokasi yang cenderung mengalami fraktur adalah pangkal paha (collum femoris), vertebrae, tulang iga, distal radius (Colles' fracture), dan humerus. Tingginya risiko jatuh dengan pertambahan usia merupakan faktor kontribusi penting dalam peningkatan angka kejadian fraktur. Patah tulang merupakan permasalahan kesehatan masyarakat pada kelompok usia lanjut di negara-negara barat, yang menyebabkan peningkatan angka kematian prematur. Angka kejadian fraktur di Inggeris diperkirakan sebanyak 150.000 pertahun, yang membebani biaya pelayanan kesehatan akibat fraktur osteoporotik sebesar 742 juta pound sterling.
II. Faktor risiko
Beberapa faktor risiko yang dikenal saat ini adalah antara lain :
-       Jenis kelamin wanita
-       Badan kurus (< 58 kg)
-       Ras Kaukasian
-       Warna rambut pirang
-       riwayat keluarga faktur paha, lengan atau tulang belakang
-       perokok
-       alkoholisme (mengurangi aktivitas osteoblas)
-       asupan kafein yang berlebihan
-       imobilitas lama
-       defisiensi hormon gonad
-       kelainan endokrin seperti : sindrom Cushing, hiperparatiroid, hipertiroid, dan hiperprolactinemia + hipogonadisme.

Atlit wanita dan penari balet yang menderita amenore sekunder serta wanita dengan anorexia nervosa yang kronik juga dapat mengalami kehilangan massa tulang yang lebih cepat. Osteoporosis juga dapat terjadi pada keadaan defisiensi vitamin C atau D atau akibat abnormalitas dari gen reseptor vitamin D, renal tubular acidosis, gagal ginjal kronik, sirosis hati atau pada inflammatory bowel disease, rheumatoid arthritis, dan kelainan genetik tertentu seperti osteogenesis imperfecta (brittle bone syndrome) dan homosistinuria (suatu kelainan bawaan dari metabolisme asam amino).
III. Pengukuran Densitas tulang
            Pengukuran kuantitatif non invasif dari massa tulang merupakan indikator yang bernilai terhadap kekuatan tulang dan risiko fraktur pada pasien-pasien osteoporosis dan juga bermanfaat untuk mengevaluasi kemajuan terapi. Bone Mineral Density (Kepadatan mineral tulang)saat ini dapat diukur secara tepat pada lokasi-lokasi tulang  yang cenderung  mengalami fraktur osteoporotik, yaitu tulang lumbal (L2 - L4) atau leher tulang paha (collum femoris) dengan menggunakan alat radiasi intensitas rendah yaitu dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA). Cara lain yang sekarang digunakan adalah dengan Single or Dual-photon absorptiometry (SPA,DPA) atau Quantitative Computerized Tomography (QCT). Secara umum, risiko patah tulang akan meningkat bila BMD menurun. Osteoporosis ditegakkan bila BMD melebihi 2.5 SD dibawah angka rata-rata yang diharapkan untuk kelompok usia dewasa muda sehat (20 sampai 40 tahun) dari jenis kelamin yang sama  [nilai BMD 1 dibawah nilai rata-rata untuk usia dewasa muda dinyatakan normal.].
IV. Patofisiologi
            Osteoporosis adalah suatu kelainan yang ditandai dengan penurunan massa tulang dan kerusakan struktural jaringan tulang, sehingga meningkatkan risiko untuk terjadinya patah tulang. Secara epidemiologi, hampir 8 juta wanita dan 2 juta laki2 di Amerika Serikat menderita osteoporosis dan satu dari dua wanita kulit putih akan mengalami fraktur osteoporotik selama hidupnya. Osteoporosis juga dapat terjadi pada laki2 usia lanjut. WHO mendefinisikan osteoporosis berdasarkan kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD) tulang spinal atau tulang paha ≤ 2.5 Standar Deviasi dibawah angka rata-rata dibandingkan wanita muda yang sehat (T score ≤ - 2,5) dari hasil pengukuran dengan DEXA (dual energy x-ray absorptiometry). Sedangkan osteopenia didefinisikan bila BMD dari tulang spinal atau tulang paha antara 1- 2,5 SD dibawah angka rata-rata.


Berdasarkan penyebabnya, osteoporosis dibagi menjadi 2 golongan :
I.         Osteoporosis primer :
1.     Osteoporosis post menopause (Type I)
2.     Age-associated osteoporosis (Type II)
3.     Osteoporosis idiopatik, pada wanita2 premenopause, usia pertengahan dan laki-laki usia muda.
II.      Osteoporosis sekunder, terjadi akibat berbagai penyakit kronik, pemakaian obat-obatan atau defisiensi zat-zat nutrisi tertentu.

V. Faktor risiko osteoporosis :
Faktor risiko terjadinya osteoporosis dapat dibagi menjadi :
A. Yang tidak dapat dimodifikasi :
1.     Ras Caucasian
2.     Pertambahan usia
3.     Jenis kelamin
4.     Menopause prematur (< 45 tahun)
5.     Periode menstruasi yang panjang

B. Yang dapat dimodifikasi :
1.   Kebiasaan merokok
2.   Alkoholisme
3.   Inaktivitas fisik
4.   Berat badan rendah
5.   Kesehatan umum yang kurang
6.   Imobilisasi yang lama

Keadaan2/ penyakit2 yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis :
1.              Anoreksia nervosa
2.              Malabsorpsi
3.              Hiperparatiroidisme
4.              Hipertiroidisme
5.              Post-transplantasi
6.              Penyakit ginjal kronik
7.              Penyakit hati kronik
8.              Sindrom Cushing
9.              Bukti radiografi --> osteopenia/ deformitas vertebra
10.          Riwayat patah tulang yang tidak disebabkan oleh trauma berat
11.               Keganasan
12.               Penurunan tinggi badan yang signifikans --> kyphosis.

            Kesehatan tulang dipertahankan melalui keseimbangan proses remodeling tulang, dimana terjadi pergantian secara berkesinambungan dari komponen2 tulang lama dengan yang  baru. Hal ini terjadi melalui proses yang melibatkan resorpsi tulang oleh osteoclast dan pembentukan massa tulang baru oleh osteoblast. Gagalnya pencapaian puncak massa tulang atau ketidakseimbangan proses remodeling dapat menimbulkan fragilitas tulang sehingga mudah terjadi patah tulang.  Walaupun estrogen merupakan hormon seks utama yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tulang, namun regulator utama dari remodeling tulang yang saat ini diketahui adalah sistem RANK/RANKL/OPG yang merupakan sistem osteoimunologik yang menentukan keberhasilan atau kegagalan homeostasis tulang. Sel-sel yang berperan dalam meresorpsi tulang yaitu osteoclast dan sel-sel sistem imun, keduanya berasal dari sel-sel hematopoietik didalam sumsum tulang.

Osteoclast tumbuh dari prekursor2 sel makrofag setelah distimulasi oleh macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) dan receptor for activated nuclear factor kappa B ligand (RANKL). Sel-sel pembentuk tulang yaitu osteoblast berasal dari sel punca mesenkimal yaitu fibroblast colony-stimulating factor (F-CSF). Selama proses remodeling tulang normal, sel-sel stroma sumsum tulang dan osteoblast memproduksi RANKL yang berikatan dengan reseptor RANK transmembran pada prekursor osteoclast dan merangsang differensiasi dan aktivasi osteoclast. Proses ini terjadi melalui faktor transkripsi, nuclear factor kappa B (NFkB), yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap aktivasi osteoclastogenesis, melainkan juga dalam  respons inflamasi. Differensiasi osteoclast dan proses inflamasi terjadi melalui regulasi interleukin-6 (IL-6). Peran utama sitokin dalam proses remodeling tulang ditunjukkan oleh fakta bahwa reseptor untuk sitokin pro inflamasi IL-1, IL-6 dan TNF-a ditemukan baik pada sel-sel prekursor osteoclast maupun osteoclast yang matang.
Estrogen memiliki efek regulasi inti melalui hambatan terhadap aktivasi IL-6 dari NFkB selama proses remodeling tulang. Osteoblast juga memproduksi osteoprotegerin (OPG) yang memblok RANKL dan mempertahankan kendali proses remodeling. OPG sangat vital dalam memfasilitasi sistem RANK/RANKL/OPG. Menurunnya kadar estrogen dan aktivasi imun yang kronik atau berulang akibat proses yang terjadi secara sistemik atau dari saluran cerna dapat menyebabkan penurunan kemampuan alamiah tubuh untuk menghambat produksi RANKL. Akibatnya akan terjadi peningkatan aktifitas osteoclast. Aktifitas osteoclast diinduksi oleh sitokin-sitokin pro inflamasi dan sel T yang teraktivasi oleh RANKL, yang diduga dimodulasi oleh aksi interferon gamma (IFN g) pada TNF receptor-associated factor 6 (TRAF-6). TRAF-6 adalah protein adaptor RANK yang memediasi aktivasi NFkB. Kemampuan modulasi IFN g terhadap RANKL dipengaruhi oleh vitamin D dan estrogen.Proses menua tidak hanya menyebabkan penurunan produksi hormon seks tetapi juga meningkatkan kadar sitokin2 pro inflamasi dan menurunkan fungsi sistem imun. Secara in vivo, radikal2 bebas terbukti meningkatkan resorpsi tulang sedangkan stres oksidatif menurunkan kepadatan massa tulang pada manusia. Bila terjadi defisiensi estrogen, kadar RANKL akan meningkat, sehingga kemampuan alamiah tubuh untuk membatasi faktor transkripsi TRAF-6 dan NFkB menurun, yang akan mengakibatkan IFNg memiliki efek pro-osteoclastogenik, yang akan meningkatkan resorpsi tulang.Dalam keadaan normal estrogen membantu mempertahankan massa tulang melalui peningkatan produksi TGF-b oleh makrofag dan hambatan aktivasi sel T CD4+.Menurunnya kadar estrogen menyebabkan peningkatan antigen presenting cell (APC) dan penurunan TGFb serta sel T regulator (Tregs). Keadaan ini akan menyebabkan aktivasi sel T dan produksi sitokin proinflamasi serta RANKL yang akan menstimulasi osteoclastogenesis.RANKL tidak hanya mengatur fungsi osteoclast, melainkan juga sel-sel dentritik (professional antigen presenting cell). Pada inflamasi kronik, RANKL mempromosi daya tahan hidup sel dendritik dan ekspresi sitokin pro inflamasi. Toleransi oral yang merupakan respons imunologik terhadap antigen usus, dipertahankan oleh adanya mikroorganisme komensal dan dinding usus yang utuh. Integritas sel epitel dipertahankan oleh adanya organisme yang menguntungkan seperti Lactobacillus dan Bifidobacteria yang tidak mengeluarkan respons inflamasi. Bila flora usus normal dipertahankan, maka toleransi mandiri (self tolerance) imunologik melalui aktivasi sel T regulator (T regs) memungkinkan dominasi aktivasi sel T helper 2 (Th2) non inflamasi untuk merespons  mikroba usus. Pertumbuhan bakteri2 patogen dan jamur dapat menyebabkan inflamasi dan meningkatkan permeabilitas usus, sehingga akan menurunkan toleransi oral. Penjelasan tradisional osteo-endokrin tentang homeostasis tulang, tidak dapat menerangkan peran penting sistem imun dalam proses remodeling dan peranan toleransi oral dalam mempertahankan kesehatan tulang. Saat ini telah diketahui bahwa beban antigen sistemik dari bakteri atau virus yang tinggi dan atau hilangnya toleransi oral akibat pertumbuhan mikroba patogen yang berlebihan mempunyai andil besar dalam patofisiologi penurunan massa tulang. Jaringan limfoid usus secara fisiologik merupakan penyekat imunologik (immunological barrier) terhadap berbagai penyakit. Bila keutuhan penyekat ini terganggu akibat hiperpermeabilitas endotel karena alergi makanan atau pertumbuhan bakteri patogen, maka penyerapan makanan akan berkurang. Akibatnya akan terjadi penurunan toleransi oral yang akan memicu terbentuknya stressor imunologik gastrointestinal yang berpengaruh pada proses remodeling tulang. Pada saat usus mengalami invasi bakteri2 patogen, professional APC, melalui aktivasi Toll-like receptors dan C-type lectin receptors, tidak dapat menekan aktivasi imun dan melepaskan sitokin proinflamasi yang akan mengaktivasi sel T helper dan menurunkan T regulator.Stres antigenik ini akan menyebabkan dominasi Thelper 1,  peningkatan RANKL dan penurunan IFN-g, sehingga akan terjadi gangguan remodeling tulang. Toll-like receptors merupakan reseptor transmembran yang ditemukan pada makrofag, sel-sel dendritik dan beberapa sel epitel yang memainkan peranan integral dalam mempertahankan toleransi oral. Reseptor ini akan mengenali pola molekuler bakteri dan mengeluarkan respons inflamasi yang bersifat destruktif terhadap bakteri patogen dan respons tolerogenik terhadap bakteri2 komensal.  Menurunnya toleransi oral mungkin terjadi bersamaan dengan involusi kelenjar thymus (diikuti dengan penurunan sel T naïf) dan penurunan massa tulang pada manusia, yang mulai terjadi pada pertengahan usia 30 tahun.  Walaupun kepadatan massa tulang tidak selalu menurun secara bermakna setelah menopause, namun percepatan kehilangan massa tulang dapat terjadi pada usia yang lebih muda.  Menurunnya jumlah sel-sel T naïf akibat inflamasi sistemik kronik atau kelebihan antigen dari usus halus akan menyebabkan ekspansi sel T oligoklonal dan penurunan aktifitas sel T helper. Penurunan aktifitas sel T helper ini akan mengurangi kemampuannya memproduksi IFNg , dimana hal ini merupakan salah satu tanda proses menua dari sistem imun. 
Dengan terjadinya involusi kelenjar thymus, saluran cerna merupakan sumber dari hampir 75% sel-sel imun tubuh. Pada saat seseorang mengalami proses menua, beban antigen mengalami peningkatan dan toleransi oral mengalami penurunan, sehingga menurunkan kadar IL-2 (yang diperlukan untuk proliferasi sel T dan differensiasinya menjadi sel-sel efektor) dan IFNg pada akhirnya meningkatkan ekspresi RANKL didalam sumsum tulang.
VI. Diagnosis :
Osteoporosis dapat didiagnosis secara klinis, radiologik dan laboratorik. Secara klinis, adanya osteopenia dapat dicurigai pada pasien-pasien yang mengalami patah tulang akibat terjatuh pada saat berdiri (low impact fracture) atau patah tulang spontan (fragility fracture).Secara radiologik, ada beberapa modalitas pemeriksaan yang dapat menegakkan diagnosis osteoporosis, antara lain :
1.     Foto Rontgen tulang, dapat mendeteksi osteoporosis bila telah terjadi kehilangan massa tulang mencapai 30% yang terlihat dengan menurunnya radiodensitas.
2.     Radiographic absorptiometry :
o   Single photon absorptiometry (SPA)
o   Dual photon absorptiometry (DPA)
3.       Dual Energy x-ray absorptiometry (DEXA)
4.       Quantitative computed tomography (QCT)
5.       Ultrasound Densitometry

Secara laboratorik, ada beberapa petanda biokimiawi (biochemical markers) yang dapat digunakan untuk mengetahui proses turnover tulang, yaitu antara lain :
1. Petanda untuk formasi tulang :
      Bone specific alkaline phosphatase (BSAP)
      Osteocalcin (OC)
      Carboxy-terminal propeptide of type I collagen (PICP)
      Amino terminal propeptide of type I collagen (PINP)

2. Petanda resorpsi tulang :
      Hydroxyproline dalam urin
      C-telopeptide of collagen cross-links (CTx) dalam urin
      Cross-linked C-telopeptide of type I collagen (ICTP) dalam serum
      Tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP) serum

VII. Pencegahan dan pengobatan
            Pencegahan osteoporosis merupakan pendekatan yang paling efektif, karena hilangnya massa tulang pada osteoporosis sulit untuk dipulihkan.  Sampai saat ini belum ada obat yang dapat memulihkan kembali arsitektur tulang seperti keadaan normal setelah mengalami osteoporosis.  Asupan kalsium yang cukup dalam diet atau suplementasi kalsium oral dalam bentuk tablet (atau formula effervescent) yang mengandung Ca glukonat, laktat atau garam karbonat (Calcit; Calcichew; Sandocal) sangat diperlukan pada masa perimenopause. Wanita dalam masa reproduksi dianjurkan mengkonsumsi 1 gram kalsium perhari, sedangkan  wanita hamil atau menyusui atau setelah postmenopause, membutuhkan sekitar 1,5 gram perhari. Latihan fisik kapasitas sedang secara teratur (terutama jalan kaki) dan menghindari kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan obat-obatan golongan steroid, terutama selama masa remaja dan dewasa muda dapat membantu mempertahankan keutuhan massa tulang. Pada wanita post menopause, estrogen pengganti sebagai bagian dari terapi suli hormonal, merupakan cara paling efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang yang cepat dan mengurangi risiko patah tulang baik tulang belakang maupun tulang paha. Terapi suli hormonal sebaiknya dimulai dalam 5 tahun pertama setelah menopause dan dilanjutkan selama 5 sampai 10 tahun. Manfaat terapi pengganti androgen jangka panjang (menggunakan transdermal testosterone patches: Andropatch; [Testoderm; Androderm] pada laki-laki hipogonad dengan osteoporosis masih belum jelas. Pendekatan farmakologik lain meliputi obat-obat antiresorptif  seperti salcatonin (diberikan secara injeksi subkutan atau intramuskular setiap hari atau semprot intranasal [Miacalcin] bersamaan dengan suplementasi kalsium oral dan vitamin D) atau bifosfonat oral yang diberikan secara intermiten (disodium etidronate ; Didronel PMO) atau secara berkesinambungan (sodium alendronate; Fosamax) bersamaan dengan suplementasi kalsium.Peningkatan BMD spinal yang dicapai dengan bifosfonat disertai dengan penurunan angka kejadian fraktur tulang belakang sebesar 50%, hampir sama dengan pemberian terapi suli hormonal. Untuk pasien-pasien usia lanjut diatas 75 tahun, penggunaan obat-obat anti resorptif tidak bermanfaat. Vitamin D dosis sedang (20 μg ) yang diberikan bersamaan dengan suplementasi kalsium merupakan pendekatan paling efektif untuk mengurangi risiko patah tulang pada pasien-pasien usia lanjut. Penggunaan sodium flouride (yang diberikan bersamaan dengan kalsium) oral dalam bentuk lepas lambat untuk merangsang pembentukan tulang pada osteoporosis post menopause dan menurunkan risiko fraktur tulang vertebra masih kontroversi. Bentuk lain dari terapi "anabolik" yang baru saat ini masih dievaluasi,  yaitu dengan pemberian injeksi subkutan harian fragmen 1-34 asam amino dari hormon paratiroid manusia [hPTH(1-34); teriparatide] yang dalam dosis rendah dapat merangsang pembentukan tulang osteoblas tanpa mempengaruhi kadar ion Ca2++ didalam darah. Juga sedang dikembangkan formulasi oral atau intranasal dari fragmen-fragmen PTH yang dapat diberikan untuk pengobatan osteoporosis.
Raloxifene hydrochloride adalah suatu ligan reseptor estrogen non steroid yang bersifat tissue specific, merupakan pilihan yang efektif dalam pengobatan osteoporosis pada wanita post menopause. Obat ini juga bermanfaat dalam mencegah terjadinya kanker payudara dan endometrium. Obat ini mengandung senyawa benzothiopene yang bekerja sebagai agonis estrogen selektif terhadap tulang, namun bersifat antagonis estrogen pada jaringan lain, sehingga tidak mempunyai efek hiperplastik pada endometrium dan tidak meningkatkan risiko terjadinya kanker endometrium.
Daftar Pustaka :
1.      Lane NE. Epidemiology, etiology, and diagnosis of osteoporosis. Am J Obstet Gynecol 2006;194:S3-11.
2.      McCornick RK. Osteoporosis: Integrating Biomarkers and other Diagnostic correlates into the Management of Bone Fragility. Altern Med Rev 2007;12(2):113-145.
3.      Lash KW,Nicholson JM,Velez L,Van Harrison R,McCost J. Diagnosis and Management of Osteoporosis. Prim Care Clin Office Pract 2009;36:181-198
4.      Sweet MG,Sweet JM,Jeremiah MP,Galazka Sim S. Diagnosis and Treatment of Osteoporosis.Am Fam Physician 2009;79(3):193-202.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar