Profersor Rusdi Ismail
Profersor Rusdi
Ismail menceritakan kisahnya hingga ia menjadi seorang Guru Besar. Dilahairkan
di Tanjung Limau,Sumatera Barat. Ia adalah anak seorang kyai pengasuh sebuah
pondok pesantren. Lingkuangan pesantren yang lekat denganya dari kecil ternyata
malah membawanya menjadi seorang dokter. Ayahnya memasukan ia di sekolah umum,
dinilai sebagai anak yang cerdas, Rusdi kecil langsung masuk kelas akselerasi.
Tamat sekolah menengah atas ia berteolak ke Jakarta. Mengikuti tes masuk Universitas
Indonesia dengan memilih jurusan Kedokteran dan ekonomi, ia berhasil diterima
di kedua jurusan. Bayangan menjadi seorang dokter adalah sebuah kebanggaan,
hingga ia tak lagi berfikir panjang untuk memilih fakultas kedokteran.
"Padahal kalau difikir lagi, jadi ekonom lebih kaya," ujar Profesor
Rusdi sambil tertawaSetalah lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia ia kemudian menjadi staf pengajar
di almamatenya itu. Hingga pada tahun 1968 sebelum penentuan pendapat rakyat
Irian Barat atau yang disebut dengan PEPERA, pemerintah mengirimkan 4 dokter
spesialis, salah satunya adalah spesialis anak. Kebetulan saat itu Profesor Rusdi
adalah seorang dokter spesialis anak.
Kondisi Irian Barat
yang saat itu masih konflik membuat para dokter enggan untuk pergi ke Irian
Barat.Profesor Rusdi mengaku setengah dipaksa oleh atasanya di Universitas
Indonesia, walaupun ia juga tidak keberatan dengan hal itu. Hingga akhirnya pada
juni 1969 ia berangkat ke Irian. Ia mengaku senang selama di sana, Meskipun
tidak membuka praktek dan tidak punya penghasilan lebih karena saat itu semua pelayanan
kesehatan gratis. Hal ini juga sebagai upaya dalam memenagkan PEPERA oleh
pemerintah Indonesia. Beberapa waktu kemudian ia menjadi diektur rumah sakit
Provinsi Irian Barat.
Sebelumnya ia bersama
dengan 3 dokter spesialis lain yang sedang bertugas di Irian Barat ditawari
oleh pemerintah Indonesia. "ingin menjadi direktur rumah sakit atau menjadi
anggota DPR." Kata profesor yang memiliki 3 orang anak ini. Kala itu
dengan mantap ia memilih sebagai direktur rumah sakit karena ia mengaku sama sekali
tidak tertarik dengan dunia politik. "Dengan begini kan saya punya riwayat
hidup sebagai direktur Rumah Sakit Provinsi."kata Profesor Rusdi dengan
nada bercanda. Selang 3 tahun kemudian ia pindah ke RSMH Palembang. Sebagai
relawan PEPERA ia mendapat kebebasan untuk memilih dimana ia akan ditempatkan
selanjutnya. Ia memiliki pilihan untuk kembali mengajar di Universitas
Indonesia. Mempertimbangkan tempat tinggal ia meminta kepada atasanya.
"Saya mau ditempatkan dimana saja asal ada rumah yang bisa saya tinggali."
Karena pada saat itu profesor rusdi belum memiliki rumah. Ia kemudian diberi
tawaran berbagai pilihan tempat namun kemudian ia memilih RSMH Palembang karena
merupakan rumah sakit pendidikan fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Dengan
begitu minatnya sebagai pengajar masih dapat tersalurkan karena di rumah sakit pendidikan
seorang dokter juga sekaligus sebagai seorang pengajar.
Palembang juga
tergolong dekat dengan tempat asalnya, sehingga ia sudah mengenal kulturnya
dengan sangat baik. Tahun 1972 saat ia datang di Palembang, statusnya masih
menjadi pegawai departemen kesehatan, meski sebagai pegawai departeman kesehatan
ia masih mengajar karena status RSMH Palembang sebagai Rumah sakit pendidikan.
Baru setelah 10 tahun di RSMH Pelembang ia kemudian menjadi pegawai dinas
pendidikan. Setelah itu ia juga sempat menjadi Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. Hingga ia mendapatkan gelar Pofesor dan dikukuhkan
menjadi Guru Besar di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya dan pensiun
pada tahun 2009 lalu. Minatnya menjadi seorang sebagai pengajar diwarisi oleh
sang ayah. Sejak kecil
Profesor Rusdi tidak pernah secara formal menjadi seorang santri
namun sang ayah selalu mengajarkan berbagai hal layaknya sorang santri.
Profesor Rusdi bercerita suatu ketika ia bertengkar dengan temanya hingga
temanya gontai berlumur darah karena dilempar batu olehnya. Mengetahui hal itu
sang ayah lalu memberinya pelajaran, sambil dipukuli dengan ikat pinggang sang ayah
menasehatinya dengan hadis. Hal itulah yang paling teringat dalam benak
Profesor Rusdi. Saat ditanya pengalamanya selama menjadi dokter di RSMH, ia
menceritakan kisahnya saat menangani pasien anak yang ia beri salah obat. Efek kesalahan
obat kemudian membuat anak seketika menjadi lemas, orang tua sang anak lalu
panik saat itu juga. Profesor Rusdi sempat diancam akan ditusuk oleh orang tua
pasien. "Saya sudah hafal karakter orang Palembang, saat itu saya bisa
tangai." Ia mencoba menenangkan orang tua pasien. "Mari pak saya
antar ke rumah sakit, supaya bapak tidak ragu-ragu nanti akan langsung ditangani
dokter spesialis yang lain." kata Professor Rusdi saat berbicara dengan
orang tua pasien yang penuh amarah seketika tenang. Baginya pengalaman puluhan
tahun menjadi dokter bukan tanpa resiko ia ingat betul saat ada pasien yang
meninggal akibat salah penanganan darinya."waktu itu setiap hari ada 30
pasien yang harus saya tangani. Kalau ada salah penanganan akibat saya itu merupakan
resiko," begitu Profesor Rusdi beralasan.
Suhaimi Humas (doc. RSMH magazine )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar