Patofisiologi dan Diagnosis Osteoporosis
Alwi Shahab
Subbagian
Endokrinologi Metabolisme
Bagian Ilmu
Penyakit Dalam
Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya
Rumah Sakit Umum
Pusat dr. Mohammad Hoesin (RSMH)
Palembang
I. Pendahuluan
Osteoporosis didefinisikan sebagai suatu kelompok kelainan
metabolisme tulang yang ditandai dengan penurunan massa tulang (osteopenia).
Jaringan tulang (terutama trabekula) akan menjadi tipis dan keropos, akibat
tidak adanya kompensasi terhadap kehilangan mineral dan matriks tulang. Sejalan
dengan progresivitas penurunan massa tulang, akan terjadi kerusakan mikro
arsitektur jaringan tulang yang mengalami osteoporosis sehingga akan memudahkan
terjadinya patah tulang. Prevalensi osteoporosis meningkat dengan pertambahan
usia baik pada laki-laki maupun wanita, walaupun wanita akan lebih mudah
terjadi osteoporosis setelah menopause. Laki-laki juga akan dapat mengalami
kondisi ini walaupun secara umum angka kejadiannya lebih rendah karena massa tulang pada laki-laki lebih
besar dan adanya efek anabolik protektif dari androgen. Osteoporosis primer
secara klinis dapat diklasifikasikan kedalam 2 tipe utama, yaitu postmenopause
(defisiensi estrogen; tipe I) dan age-related (senile; tipe II). Osteoporosis tipe I dapat terjadi pada
wanita usia antara 55 sampai 75 tahun, yang terjadi akibat hilangnya estrogen
dari ovarium, sementara tipe II dapat terjadi baik pada laki-laki maupun wanita
usia antara 70 sampai 75 tahun, terjadi akibat gangguan efisiensi progresif dari
proses remodeling tulang dan menurunnya pembentukan 1,25-(OH)2D3 di ginjal dan
gangguan absorpsi Ca+2 diusus halus yang berhubungan dengan proses menua. Peningkatan
massa tulang terutama terjadi selama masa adolesens, yang mencapai puncaknya
pada awal usia dewasa (sekitar 30 tahun), kemudian akan terus mengalami
penurunan. Pembangunan arsitektur tulang sangat tergantung kepada kecukupan
asupan kalsium didalam diet, kadar estrogen/ androgen didalam sirkulasi darah
dan aktivitas fisik serta faktor-faktor genetik. Pada usia tua, kepadatan
tulang ditentukan oleh puncak massa tulang yang dicapai pada awal usia dewasa
dan jumlah kehilangan massa tulang berikutnya; setelah usia 55 sampai 60 tahun,
baik pada laki-laki maupun wanita laju kehilangan massa tulang diperkirakan
sebanyak 1% pertahun.
Kehilangan massa tulang juga dapat mengalami peningkatan karena
adanya kelainan-kelainan endokrin, pemakaian glukokortikoid jangka panjang atau
immobilisasi yang lama. Setelah menopause, laju kehilangan tulang pada wanita akan
semakin cepat karena terhentinya produksi estrogen (diperkirakan sebanyak 15%
massa tulang akan berkurang dalam waktu 5 sampai 10 tahun). Pada laki-laki,
karena tidak terjadi menopause sebagaimana pada wanita, maka risiko untuk
terjadinya patah tulang lebih rendah. Pada
osteoporosis, sebagaimana pada hipertensi, terdapat periode laten yang panjang
sebelum timbul gejala-gejala dan tanda-tanda klinis, dimana terkadang pasien
belum menunjukkan gejala awal. Namun pada beberapa pasien dapat ditemukan
gejala-gejala awal sebagai berikut :
1.
Nyeri tulang karena fraktur (dapat terjadi spontan atau akibat trauma ringan)
atau nyeri punggung yang berat karena fraktur kompresi tulang belakang (columna
vertebralis).
2.
Tinggi badan yang berkurang dan timbulnya kiposis dorsalis (lengkung tulang
belakang bertambah; dowager's hump). Kedua keadaan ini merupakan tanda-tanda klasik
dari osteoporosis yang jelas.
3.
Fraktur. Karena osteoporosis meningkatkan fragilitas dari arsitektur tulang
rangka, fraktur dapat terjadi dimana saja, namun lokasi yang cenderung
mengalami fraktur adalah pangkal paha (collum femoris), vertebrae, tulang
iga, distal radius (Colles' fracture), dan humerus. Tingginya risiko jatuh
dengan pertambahan usia merupakan faktor kontribusi penting dalam peningkatan
angka kejadian fraktur. Patah tulang merupakan permasalahan kesehatan
masyarakat pada kelompok usia lanjut di negara-negara barat, yang menyebabkan
peningkatan angka kematian prematur. Angka kejadian fraktur di Inggeris
diperkirakan sebanyak 150.000 pertahun, yang membebani biaya pelayanan
kesehatan akibat fraktur osteoporotik sebesar 742 juta pound sterling.
II. Faktor risiko
Beberapa faktor
risiko yang dikenal saat ini adalah antara lain :
- Jenis kelamin wanita
- Badan kurus (< 58 kg)
- Ras Kaukasian
- Warna rambut pirang
- riwayat keluarga faktur paha, lengan atau
tulang belakang
- perokok
- alkoholisme (mengurangi aktivitas osteoblas)
- asupan kafein yang berlebihan
- imobilitas lama
- defisiensi hormon gonad
- kelainan endokrin seperti : sindrom Cushing,
hiperparatiroid, hipertiroid, dan hiperprolactinemia + hipogonadisme.
Atlit wanita dan penari balet yang menderita amenore sekunder serta
wanita dengan anorexia nervosa yang kronik juga dapat mengalami kehilangan
massa tulang yang lebih cepat. Osteoporosis juga dapat terjadi pada keadaan
defisiensi vitamin C atau D atau akibat abnormalitas dari gen reseptor vitamin
D, renal
tubular acidosis, gagal ginjal kronik, sirosis hati atau pada inflammatory
bowel disease, rheumatoid arthritis, dan kelainan genetik tertentu seperti
osteogenesis
imperfecta (brittle bone syndrome) dan homosistinuria (suatu kelainan
bawaan dari metabolisme asam amino).
III. Pengukuran
Densitas tulang
Pengukuran kuantitatif non invasif
dari massa tulang merupakan indikator yang bernilai terhadap kekuatan tulang
dan risiko fraktur pada pasien-pasien osteoporosis dan juga bermanfaat untuk
mengevaluasi kemajuan terapi. Bone
Mineral Density (Kepadatan mineral tulang)saat ini dapat diukur secara tepat pada lokasi-lokasi tulang yang cenderung mengalami fraktur osteoporotik, yaitu tulang
lumbal (L2 - L4) atau leher tulang paha (collum femoris) dengan menggunakan
alat radiasi intensitas rendah yaitu dual-energy
X-ray absorptiometry (DEXA). Cara lain yang sekarang digunakan
adalah dengan Single or Dual-photon absorptiometry (SPA,DPA) atau Quantitative
Computerized Tomography (QCT). Secara umum, risiko patah tulang akan
meningkat bila BMD menurun. Osteoporosis ditegakkan bila BMD melebihi 2.5 SD
dibawah angka rata-rata yang diharapkan untuk kelompok usia dewasa muda sehat
(20 sampai 40 tahun) dari jenis kelamin yang sama [nilai BMD ≤1 dibawah nilai
rata-rata untuk usia dewasa muda dinyatakan normal.].
IV. Patofisiologi
Osteoporosis
adalah suatu kelainan yang ditandai dengan penurunan massa tulang dan kerusakan
struktural jaringan tulang, sehingga meningkatkan risiko untuk terjadinya patah
tulang. Secara epidemiologi, hampir 8 juta wanita dan 2 juta laki2 di Amerika
Serikat menderita osteoporosis dan satu dari dua wanita kulit putih akan
mengalami fraktur osteoporotik selama hidupnya. Osteoporosis juga dapat terjadi
pada laki2 usia lanjut. WHO mendefinisikan osteoporosis berdasarkan kepadatan
mineral tulang (Bone Mineral Density = BMD) tulang spinal atau tulang paha ≤
2.5 Standar Deviasi dibawah angka rata-rata dibandingkan wanita muda yang sehat
(T score ≤ - 2,5) dari hasil pengukuran dengan DEXA (dual energy x-ray
absorptiometry). Sedangkan osteopenia didefinisikan bila BMD dari tulang spinal
atau tulang paha antara 1- 2,5 SD dibawah angka rata-rata.
Berdasarkan penyebabnya, osteoporosis
dibagi menjadi 2 golongan :
I.
Osteoporosis primer :
1.
Osteoporosis post menopause (Type I)
2.
Age-associated osteoporosis (Type II)
3.
Osteoporosis idiopatik, pada wanita2
premenopause, usia pertengahan dan laki-laki usia muda.
II.
Osteoporosis sekunder, terjadi akibat
berbagai penyakit kronik, pemakaian obat-obatan atau defisiensi zat-zat nutrisi
tertentu.
V. Faktor risiko
osteoporosis :
Faktor risiko
terjadinya osteoporosis dapat dibagi menjadi :
A. Yang tidak dapat
dimodifikasi :
1.
Ras Caucasian
2.
Pertambahan usia
3.
Jenis kelamin
4.
Menopause prematur (< 45 tahun)
5.
Periode menstruasi yang panjang
B. Yang dapat dimodifikasi :
1. Kebiasaan
merokok
2. Alkoholisme
3. Inaktivitas
fisik
4. Berat
badan rendah
5. Kesehatan
umum yang kurang
6. Imobilisasi
yang lama
Keadaan2/
penyakit2 yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis :
1.
Anoreksia nervosa
2.
Malabsorpsi
3.
Hiperparatiroidisme
4.
Hipertiroidisme
5.
Post-transplantasi
6.
Penyakit ginjal kronik
7.
Penyakit hati kronik
8.
Sindrom Cushing
9.
Bukti radiografi --> osteopenia/ deformitas
vertebra
10.
Riwayat patah tulang yang tidak disebabkan oleh
trauma berat
11.
Keganasan
12.
Penurunan tinggi badan yang signifikans -->
kyphosis.
Kesehatan tulang dipertahankan melalui
keseimbangan proses remodeling tulang, dimana terjadi pergantian secara
berkesinambungan dari komponen2 tulang lama dengan yang baru. Hal ini terjadi melalui proses yang
melibatkan resorpsi tulang oleh osteoclast dan pembentukan massa tulang baru
oleh osteoblast. Gagalnya pencapaian puncak massa tulang atau ketidakseimbangan
proses remodeling dapat menimbulkan fragilitas tulang sehingga mudah terjadi patah
tulang. Walaupun estrogen merupakan
hormon seks utama yang berperan dalam mempertahankan homeostasis tulang, namun
regulator utama dari remodeling tulang yang saat ini diketahui adalah sistem RANK/RANKL/OPG yang merupakan
sistem osteoimunologik yang menentukan keberhasilan atau kegagalan homeostasis
tulang. Sel-sel yang berperan dalam meresorpsi tulang yaitu osteoclast dan
sel-sel sistem imun, keduanya berasal dari sel-sel hematopoietik didalam sumsum
tulang.
Osteoclast tumbuh dari prekursor2 sel makrofag setelah
distimulasi oleh macrophage colony-stimulating factor (M-CSF) dan receptor
for activated nuclear factor kappa B ligand (RANKL). Sel-sel pembentuk
tulang yaitu osteoblast berasal dari
sel punca mesenkimal yaitu fibroblast colony-stimulating factor
(F-CSF). Selama proses remodeling tulang normal, sel-sel stroma sumsum
tulang dan osteoblast memproduksi RANKL yang berikatan dengan reseptor RANK
transmembran pada prekursor osteoclast dan merangsang differensiasi dan
aktivasi osteoclast. Proses ini terjadi melalui faktor transkripsi, nuclear
factor kappa B (NFkB), yang tidak hanya bertanggung jawab terhadap
aktivasi osteoclastogenesis, melainkan juga dalam respons inflamasi. Differensiasi osteoclast
dan proses inflamasi terjadi melalui regulasi interleukin-6 (IL-6). Peran utama
sitokin dalam proses remodeling tulang ditunjukkan oleh fakta bahwa reseptor
untuk sitokin pro inflamasi IL-1, IL-6 dan TNF-a ditemukan baik pada sel-sel
prekursor osteoclast maupun osteoclast yang matang.
Estrogen memiliki
efek regulasi inti melalui hambatan terhadap aktivasi IL-6 dari NFkB selama
proses remodeling tulang. Osteoblast juga memproduksi osteoprotegerin (OPG)
yang memblok RANKL dan mempertahankan kendali proses remodeling. OPG sangat
vital dalam memfasilitasi sistem RANK/RANKL/OPG. Menurunnya kadar estrogen dan
aktivasi imun yang kronik atau berulang akibat proses yang terjadi secara
sistemik atau dari saluran cerna dapat menyebabkan penurunan kemampuan alamiah
tubuh untuk menghambat produksi RANKL. Akibatnya akan terjadi peningkatan
aktifitas osteoclast. Aktifitas osteoclast diinduksi oleh sitokin-sitokin pro
inflamasi dan sel T yang teraktivasi oleh RANKL, yang diduga dimodulasi oleh
aksi interferon gamma (IFN g) pada TNF
receptor-associated factor 6 (TRAF-6). TRAF-6 adalah protein adaptor RANK
yang memediasi aktivasi NFkB. Kemampuan modulasi IFN g terhadap RANKL
dipengaruhi oleh vitamin D dan estrogen.Proses menua tidak hanya menyebabkan
penurunan produksi hormon seks tetapi juga meningkatkan kadar sitokin2 pro
inflamasi dan menurunkan fungsi sistem imun. Secara in vivo, radikal2 bebas
terbukti meningkatkan resorpsi tulang sedangkan stres oksidatif menurunkan
kepadatan massa tulang pada manusia. Bila terjadi defisiensi estrogen, kadar
RANKL akan meningkat, sehingga kemampuan alamiah tubuh untuk membatasi faktor
transkripsi TRAF-6 dan NFkB menurun, yang akan mengakibatkan IFNg memiliki efek pro-osteoclastogenik,
yang akan meningkatkan resorpsi tulang.Dalam keadaan normal estrogen membantu
mempertahankan massa tulang melalui peningkatan produksi TGF-b oleh makrofag dan
hambatan aktivasi sel T CD4+.Menurunnya kadar estrogen menyebabkan peningkatan antigen
presenting cell (APC) dan penurunan TGFb serta sel T regulator (Tregs). Keadaan ini
akan menyebabkan aktivasi sel T dan produksi sitokin proinflamasi serta RANKL
yang akan menstimulasi osteoclastogenesis.RANKL tidak hanya
mengatur fungsi osteoclast, melainkan juga sel-sel dentritik (professional antigen
presenting cell). Pada inflamasi kronik, RANKL mempromosi daya tahan
hidup sel dendritik dan ekspresi sitokin pro inflamasi. Toleransi oral yang
merupakan respons imunologik terhadap antigen usus, dipertahankan oleh adanya
mikroorganisme komensal dan dinding usus yang utuh. Integritas sel epitel
dipertahankan oleh adanya organisme yang menguntungkan seperti Lactobacillus
dan Bifidobacteria yang tidak mengeluarkan respons inflamasi. Bila
flora usus normal dipertahankan, maka toleransi mandiri (self tolerance) imunologik melalui aktivasi sel T regulator (T regs) memungkinkan dominasi aktivasi sel T helper 2 (Th2) non inflamasi
untuk merespons mikroba usus. Pertumbuhan
bakteri2 patogen dan jamur dapat menyebabkan inflamasi dan meningkatkan
permeabilitas usus, sehingga akan menurunkan toleransi oral. Penjelasan
tradisional osteo-endokrin tentang homeostasis tulang, tidak dapat
menerangkan peran penting sistem imun dalam proses remodeling dan peranan
toleransi oral dalam mempertahankan kesehatan tulang. Saat ini telah diketahui
bahwa beban antigen sistemik dari bakteri atau virus yang tinggi dan atau
hilangnya toleransi oral akibat pertumbuhan mikroba patogen yang berlebihan
mempunyai andil besar dalam patofisiologi penurunan massa tulang. Jaringan
limfoid usus secara fisiologik merupakan penyekat imunologik (immunological
barrier) terhadap berbagai penyakit. Bila keutuhan penyekat ini
terganggu akibat hiperpermeabilitas endotel karena alergi makanan atau
pertumbuhan bakteri patogen, maka penyerapan makanan akan berkurang. Akibatnya
akan terjadi penurunan toleransi oral yang akan memicu terbentuknya stressor
imunologik gastrointestinal yang berpengaruh pada proses remodeling tulang.
Pada saat usus mengalami invasi bakteri2 patogen, professional APC, melalui
aktivasi Toll-like receptors dan C-type lectin receptors, tidak dapat
menekan aktivasi imun dan melepaskan sitokin proinflamasi yang akan
mengaktivasi sel T helper dan menurunkan T regulator.Stres antigenik ini akan
menyebabkan dominasi Thelper 1,
peningkatan RANKL dan penurunan IFN-g, sehingga akan terjadi gangguan remodeling
tulang. Toll-like receptors merupakan reseptor transmembran yang
ditemukan pada makrofag, sel-sel dendritik dan beberapa sel epitel yang
memainkan peranan integral dalam mempertahankan toleransi oral. Reseptor ini
akan mengenali pola molekuler bakteri dan mengeluarkan respons inflamasi yang
bersifat destruktif terhadap bakteri patogen dan respons tolerogenik terhadap
bakteri2 komensal. Menurunnya toleransi
oral mungkin terjadi bersamaan dengan involusi kelenjar thymus (diikuti dengan
penurunan sel T naïf) dan penurunan massa tulang pada manusia, yang mulai
terjadi pada pertengahan usia 30 tahun.
Walaupun kepadatan massa tulang tidak selalu menurun secara bermakna
setelah menopause, namun percepatan kehilangan massa tulang dapat terjadi pada
usia yang lebih muda. Menurunnya jumlah
sel-sel T naïf akibat inflamasi
sistemik kronik atau kelebihan antigen dari usus halus akan menyebabkan
ekspansi sel T oligoklonal dan penurunan aktifitas sel T helper.
Penurunan aktifitas sel T helper ini akan mengurangi kemampuannya memproduksi
IFNg , dimana hal ini merupakan salah satu tanda proses menua dari
sistem imun.
Dengan terjadinya
involusi kelenjar thymus, saluran cerna merupakan sumber dari hampir 75%
sel-sel imun tubuh. Pada saat seseorang mengalami proses menua, beban antigen
mengalami peningkatan dan toleransi oral mengalami penurunan, sehingga
menurunkan kadar IL-2 (yang diperlukan untuk proliferasi sel T dan
differensiasinya menjadi sel-sel efektor) dan IFNg pada akhirnya meningkatkan ekspresi
RANKL didalam sumsum tulang.
VI. Diagnosis :
Osteoporosis dapat didiagnosis secara klinis,
radiologik dan laboratorik. Secara klinis, adanya
osteopenia dapat dicurigai pada pasien-pasien yang mengalami patah tulang
akibat terjatuh pada saat berdiri (low impact fracture) atau
patah tulang spontan (fragility fracture).Secara radiologik, ada
beberapa modalitas pemeriksaan yang dapat menegakkan diagnosis osteoporosis,
antara lain :
1.
Foto Rontgen tulang, dapat mendeteksi
osteoporosis bila telah terjadi kehilangan massa tulang mencapai 30% yang
terlihat dengan menurunnya radiodensitas.
2.
Radiographic absorptiometry :
o
Single photon absorptiometry (SPA)
o
Dual photon absorptiometry (DPA)
3. Dual
Energy x-ray absorptiometry (DEXA)
4. Quantitative
computed tomography (QCT)
5. Ultrasound
Densitometry
Secara laboratorik,
ada beberapa petanda biokimiawi (biochemical markers) yang dapat
digunakan untuk mengetahui proses turnover tulang, yaitu antara lain :
1. Petanda untuk
formasi tulang :
▪ Bone
specific alkaline phosphatase (BSAP)
▪ Osteocalcin
(OC)
▪ Carboxy-terminal
propeptide of type I collagen (PICP)
▪ Amino
terminal propeptide of type I collagen (PINP)
2. Petanda resorpsi
tulang :
▪ Hydroxyproline
dalam urin
▪ C-telopeptide
of collagen cross-links (CTx) dalam urin
▪ Cross-linked
C-telopeptide of type I collagen (ICTP) dalam serum
▪ Tartrate-resistant
acid phosphatase (TRAP) serum
Pencegahan osteoporosis merupakan
pendekatan yang paling efektif, karena hilangnya massa tulang pada osteoporosis
sulit untuk dipulihkan. Sampai saat ini
belum ada obat yang dapat memulihkan kembali arsitektur tulang seperti keadaan
normal setelah mengalami osteoporosis.
Asupan kalsium yang cukup dalam diet atau suplementasi kalsium oral
dalam bentuk tablet (atau formula effervescent) yang mengandung Ca glukonat,
laktat atau garam karbonat (Calcit; Calcichew; Sandocal) sangat
diperlukan pada masa perimenopause. Wanita dalam masa reproduksi dianjurkan
mengkonsumsi 1 gram kalsium perhari, sedangkan
wanita hamil atau menyusui atau setelah postmenopause, membutuhkan
sekitar 1,5 gram perhari. Latihan fisik kapasitas sedang secara teratur
(terutama jalan kaki) dan menghindari kebiasaan merokok, konsumsi alkohol dan
obat-obatan golongan steroid, terutama selama masa remaja dan dewasa muda dapat
membantu mempertahankan keutuhan massa tulang. Pada wanita post menopause,
estrogen pengganti sebagai bagian dari terapi suli hormonal, merupakan cara
paling efektif untuk mencegah kehilangan massa tulang yang cepat dan mengurangi
risiko patah tulang baik tulang belakang maupun tulang paha. Terapi suli
hormonal sebaiknya dimulai dalam 5 tahun pertama setelah menopause dan
dilanjutkan selama 5 sampai 10 tahun. Manfaat
terapi pengganti androgen jangka panjang (menggunakan transdermal testosterone
patches: Andropatch; [Testoderm; Androderm] pada laki-laki hipogonad
dengan osteoporosis masih belum jelas. Pendekatan farmakologik lain meliputi obat-obat antiresorptif seperti salcatonin (diberikan secara injeksi
subkutan atau intramuskular setiap hari atau semprot intranasal [Miacalcin]
bersamaan dengan suplementasi kalsium oral dan vitamin D) atau bifosfonat oral
yang diberikan secara intermiten (disodium etidronate ; Didronel PMO)
atau secara berkesinambungan (sodium alendronate; Fosamax)
bersamaan dengan suplementasi kalsium.Peningkatan BMD spinal yang dicapai
dengan bifosfonat disertai dengan penurunan angka kejadian fraktur tulang
belakang sebesar 50%, hampir sama dengan pemberian terapi suli hormonal. Untuk
pasien-pasien usia lanjut diatas 75 tahun, penggunaan obat-obat anti resorptif
tidak bermanfaat. Vitamin D dosis sedang (20 μg ) yang
diberikan bersamaan dengan suplementasi kalsium merupakan pendekatan paling
efektif untuk mengurangi risiko patah tulang pada pasien-pasien usia lanjut. Penggunaan sodium flouride (yang diberikan
bersamaan dengan kalsium) oral dalam bentuk lepas lambat untuk merangsang
pembentukan tulang pada osteoporosis post menopause dan menurunkan risiko
fraktur tulang vertebra masih kontroversi. Bentuk lain dari terapi "anabolik"
yang baru saat ini masih dievaluasi, yaitu
dengan pemberian injeksi subkutan harian fragmen 1-34 asam amino dari hormon
paratiroid manusia [hPTH(1-34); teriparatide] yang dalam dosis rendah dapat
merangsang pembentukan tulang osteoblas tanpa mempengaruhi kadar ion Ca2++ didalam darah. Juga sedang
dikembangkan formulasi oral atau intranasal dari fragmen-fragmen PTH yang dapat
diberikan untuk pengobatan osteoporosis.
Raloxifene
hydrochloride adalah
suatu ligan reseptor estrogen non steroid yang bersifat tissue specific, merupakan
pilihan yang efektif dalam pengobatan osteoporosis pada wanita post menopause.
Obat ini juga bermanfaat dalam mencegah terjadinya kanker payudara dan
endometrium. Obat ini mengandung senyawa benzothiopene yang bekerja sebagai
agonis estrogen selektif terhadap tulang, namun bersifat antagonis estrogen
pada jaringan lain, sehingga tidak mempunyai efek hiperplastik pada endometrium
dan tidak meningkatkan risiko terjadinya kanker endometrium.
Daftar
Pustaka :
1. Lane NE. Epidemiology, etiology, and
diagnosis of osteoporosis. Am J Obstet Gynecol 2006;194:S3-11.
2. McCornick RK. Osteoporosis: Integrating
Biomarkers and other Diagnostic correlates into the Management of Bone
Fragility. Altern Med Rev 2007;12(2):113-145.
3. Lash KW,Nicholson JM,Velez L,Van Harrison
R,McCost J. Diagnosis and Management of Osteoporosis. Prim Care Clin Office
Pract 2009;36:181-198
4. Sweet MG,Sweet JM,Jeremiah MP,Galazka Sim S.
Diagnosis and Treatment of Osteoporosis.Am Fam Physician 2009;79(3):193-202.