Sembilan
Tahun Obati Suku Kubu,
Dipanggil Raja Suntik
Pengabdian dari
dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun ia mengobati
Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu di Provinsi Jambi.
Bagaimana ceritanya ?!
Tepat pukul
11.00 WIB pada Kamis (10/11) lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai
melakukan operasi. “Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai
wawancara. Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa
dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi dokter
hingga saat ini.
Diceritakannya,
sewaktu masih menjadi dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun,
sekarang menjadi Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat
seorang gadis tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan
turun untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu
menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya ke
puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman
itulah, dr Marta tertarik mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia
mengambil spesialis bedah umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK
Unsri). Kemudian, dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran
ditawari dr Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat
betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,” kenangnya.
Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali, dirinya mendaftar di
Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus. Padahal selama satu tahun
dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku urologi.
“Sebenarnya,
pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua, tapi mungkin nasib kurang baik,”
katanya. Tidak putus asa, suami dari dr Afrimelda MKes ini memilih Universitas
Airlangga (Unair) Surabaya untuk mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006
hingga 2010.
Dia mengaku,
banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo Surabaya. Misalnya,
kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut melakukan masturbasi
menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian tersebut diatasi menggunakan gerindo
yang biasa dipakai di bengkel. “Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di
Palembang sekali,” ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah
menangani kasus pasien kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata
dia, pasien mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien
memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia menceritakan,
pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih bisa diatasi dengan
cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh darah di pangkal besar,”
imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali memotong penis di bagian ujung
penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang,
saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak
terlupakan.
Contohnya, waktu itu dalam perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus.
dr Marta bersama istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau
yang lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau
berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh
dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan Suku Anak Dalam (SAD)
tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani masyarakat tetap diutamakan. Saat
itu, ia berprofesi kepala puskesmas yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan
komunikasi karena medannya yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT)
kepada 34 petugas di pos masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya
berkomunikasi untuk konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut.
“Saya juga tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat
memanggil dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang dipimpinnya
saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang perawatan VIP
lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan penghargaan Abdi
Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya menambahkan, dirinya
bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih kata pria
kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana tidak mau berobat
ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke rumah. “Dengan setia, mereka
(pasien) menunggu saya pulang untuk diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah
dinasnya bersebelahan dengan puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut
bayaran kepada pasien yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit
berkomunikasi dengan pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti
sedikit-sedikit,” akunya.
Dari pengabdian
ini, bungsu empat saudara ini menerima penghargaan Dokter Teladan Tingkat
Provinsi Jambi dari Presiden RI pada 1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak
Soeharto,” bebernya.
Dia menambahkan,
profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun kedua orang tua dan
saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter. Waktu kecil, ada tiga
pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan wakil presiden. “Kenapa pilih
wakil, soalnya kalau presiden ketinggian. Namun, nasib menjadikan saya sebagai
dokter,” pungkasnya sembari tersenyum
Kiki Wulandari – Sumek.Palembang
Pengabdian
dari dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun
ia mengobati Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu
di Provinsi Jambi. Bagaimana ceritanya?
--------
Kiki Wulandari – Palembang
-------
Tepat pukul 11.00 WIB pada Kamis (10/11)
lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai melakukan operasi.
“Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai wawancara.
Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa
dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi
dokter hingga saat ini.
Diceritakannya, sewaktu masih menjadi
dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun, sekarang menjadi
Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat seorang gadis
tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan turun
untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu
menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya
ke puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman itulah, dr Marta tertarik
mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia mengambil spesialis bedah
umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri). Kemudian,
dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran ditawari dr
Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat
betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,”
kenangnya. Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali,
dirinya mendaftar di Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus.
Padahal selama satu tahun dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku
urologi.
“Sebenarnya, pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua,
tapi mungkin nasib kurang baik,” katanya. Tidak putus asa, suami dari dr
Afrimelda MKes ini memilih Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk
mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006 hingga 2010.
Dia
mengaku, banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo
Surabaya. Misalnya, kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut
melakukan masturbasi menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian
tersebut diatasi menggunakan gerindo yang biasa dipakai di bengkel.
“Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di Palembang sekali,”
ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah menangani kasus pasien
kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata dia, pasien
mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien
memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia
menceritakan, pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih
bisa diatasi dengan cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh
darah di pangkal besar,” imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali
memotong penis di bagian ujung penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya
bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang, saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak
terlupakan. Contohnya, waktu itu dalam
perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus. dr Marta bersama
istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau yang
lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau
berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan
Suku Anak Dalam (SAD) tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani
masyarakat tetap diutamakan. Saat itu, ia berprofesi kepala puskesmas
yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan komunikasi karena medannya
yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT) kepada 34 petugas di pos
masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya berkomunikasi untuk
konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut. “Saya juga
tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat memanggil
dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang
dipimpinnya saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang
perawatan VIP lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan
penghargaan Abdi Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya
menambahkan, dirinya bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih
kata pria kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana
tidak mau berobat ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke
rumah. “Dengan setia, mereka (pasien) menunggu saya pulang untuk
diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah dinasnya bersebelahan dengan
puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut bayaran kepada pasien
yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit berkomunikasi dengan
pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti sedikit-sedikit,”
akunya.
Dari pengabdian ini, bungsu empat saudara ini menerima
penghargaan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Jambi dari Presiden RI pada
1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak Soeharto,” bebernya.
Dia
menambahkan, profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun
kedua orang tua dan saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter.
Waktu kecil, ada tiga pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan
wakil presiden. “Kenapa pilih wakil, soalnya kalau presiden ketinggian.
Namun, nasib menjadikan saya sebagai dokter,” pungkasnya sembari
tersenyum
- See more at:
http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/23460-sembilan-tahun-obati-suku-kubu-dipanggil-raja-suntik#sthash.u41mw2iD.dpuf
skemas yang dipimpinnya saat itu sudah dilengk
Pengabdian
dari dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun
ia mengobati Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu
di Provinsi Jambi. Bagaimana ceritanya?
--------
Kiki Wulandari – Palembang
-------
Tepat pukul 11.00 WIB pada Kamis (10/11)
lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai melakukan operasi.
“Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai wawancara.
Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa
dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi
dokter hingga saat ini.
Diceritakannya, sewaktu masih menjadi
dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun, sekarang menjadi
Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat seorang gadis
tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan turun
untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu
menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya
ke puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman itulah, dr Marta tertarik
mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia mengambil spesialis bedah
umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri). Kemudian,
dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran ditawari dr
Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat
betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,”
kenangnya. Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali,
dirinya mendaftar di Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus.
Padahal selama satu tahun dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku
urologi.
“Sebenarnya, pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua,
tapi mungkin nasib kurang baik,” katanya. Tidak putus asa, suami dari dr
Afrimelda MKes ini memilih Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk
mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006 hingga 2010.
Dia
mengaku, banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo
Surabaya. Misalnya, kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut
melakukan masturbasi menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian
tersebut diatasi menggunakan gerindo yang biasa dipakai di bengkel.
“Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di Palembang sekali,”
ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah menangani kasus pasien
kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata dia, pasien
mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien
memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia
menceritakan, pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih
bisa diatasi dengan cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh
darah di pangkal besar,” imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali
memotong penis di bagian ujung penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya
bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang, saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak
terlupakan. Contohnya, waktu itu dalam
perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus. dr Marta bersama
istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau yang
lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau
berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan
Suku Anak Dalam (SAD) tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani
masyarakat tetap diutamakan. Saat itu, ia berprofesi kepala puskesmas
yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan komunikasi karena medannya
yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT) kepada 34 petugas di pos
masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya berkomunikasi untuk
konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut. “Saya juga
tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat memanggil
dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang
dipimpinnya saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang
perawatan VIP lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan
penghargaan Abdi Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya
menambahkan, dirinya bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih
kata pria kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana
tidak mau berobat ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke
rumah. “Dengan setia, mereka (pasien) menunggu saya pulang untuk
diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah dinasnya bersebelahan dengan
puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut bayaran kepada pasien
yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit berkomunikasi dengan
pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti sedikit-sedikit,”
akunya.
Dari pengabdian ini, bungsu empat saudara ini menerima
penghargaan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Jambi dari Presiden RI pada
1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak Soeharto,” bebernya.
Dia
menambahkan, profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun
kedua orang tua dan saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter.
Waktu kecil, ada tiga pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan
wakil presiden. “Kenapa pilih wakil, soalnya kalau presiden ketinggian.
Namun, nasib menjadikan saya sebagai dokter,” pungkasnya sembari
tersenyum
- See more at:
http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/23460-sembilan-tahun-obati-suku-kubu-dipanggil-raja-suntik#sthash.u41mw2iD.dpuf
Pengabdian
dari dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun
ia mengobati Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu
di Provinsi Jambi. Bagaimana ceritanya?
--------
Kiki Wulandari – Palembang
-------
Tepat pukul 11.00 WIB pada Kamis (10/11)
lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai melakukan operasi.
“Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai wawancara.
Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa
dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi
dokter hingga saat ini.
Diceritakannya, sewaktu masih menjadi
dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun, sekarang menjadi
Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat seorang gadis
tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan turun
untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu
menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya
ke puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman itulah, dr Marta tertarik
mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia mengambil spesialis bedah
umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri). Kemudian,
dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran ditawari dr
Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat
betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,”
kenangnya. Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali,
dirinya mendaftar di Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus.
Padahal selama satu tahun dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku
urologi.
“Sebenarnya, pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua,
tapi mungkin nasib kurang baik,” katanya. Tidak putus asa, suami dari dr
Afrimelda MKes ini memilih Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk
mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006 hingga 2010.
Dia
mengaku, banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo
Surabaya. Misalnya, kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut
melakukan masturbasi menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian
tersebut diatasi menggunakan gerindo yang biasa dipakai di bengkel.
“Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di Palembang sekali,”
ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah menangani kasus pasien
kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata dia, pasien
mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien
memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia
menceritakan, pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih
bisa diatasi dengan cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh
darah di pangkal besar,” imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali
memotong penis di bagian ujung penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya
bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang, saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak
terlupakan. Contohnya, waktu itu dalam
perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus. dr Marta bersama
istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau yang
lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau
berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan
Suku Anak Dalam (SAD) tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani
masyarakat tetap diutamakan. Saat itu, ia berprofesi kepala puskesmas
yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan komunikasi karena medannya
yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT) kepada 34 petugas di pos
masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya berkomunikasi untuk
konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut. “Saya juga
tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat memanggil
dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang
dipimpinnya saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang
perawatan VIP lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan
penghargaan Abdi Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya
menambahkan, dirinya bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih
kata pria kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana
tidak mau berobat ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke
rumah. “Dengan setia, mereka (pasien) menunggu saya pulang untuk
diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah dinasnya bersebelahan dengan
puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut bayaran kepada pasien
yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit berkomunikasi dengan
pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti sedikit-sedikit,”
akunya.
Dari pengabdian ini, bungsu empat saudara ini menerima
penghargaan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Jambi dari Presiden RI pada
1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak Soeharto,” bebernya.
Dia
menambahkan, profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun
kedua orang tua dan saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter.
Waktu kecil, ada tiga pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan
wakil presiden. “Kenapa pilih wakil, soalnya kalau presiden ketinggian.
Namun, nasib menjadikan saya sebagai dokter,” pungkasnya sembari
tersenyum. (*/ce1)
- See more at:
http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/23460-sembilan-tahun-obati-suku-kubu-dipanggil-raja-suntik#sthash.u41mw2iD.dpuf