Praktik
Perawat Mandiri ???
Ditujukan
Kepada Pengambil Kebijakan di :
1. Kementerian
Kesehatan
2. Pemerintah
Provinsi
(Dinas
Kesehatan Provinsi)
3. Pemerintah
Kabupaten/Kota
(Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota)
4. Organisasi
Profesi Perawat (PPNI)
5. Institusi
Pendidikan Kesehatan
6. Perawat
Praktik Mandiri
7. Konsil
Tenaga Kesehatan
Bertolak dari Berita
yang berjudul :
“yang akhirnya perawat DS dibebaskan
dari hukuman (Sumber:
http//m.tribunnews.com/regional/news/2016/01/12/kasus-kepala-bayi-putus-perawat-ds-jadi-tersangka.
Permasalahan/Isu
Pada berita tersebut,
perawat DS dituntut pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dengan denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) karena diduga melakukan
malpraktik saat menolong persalinan. di balai pengobatan yang dimilikinya.
Setelah melewati proses peradilan, perawat DS dibebaskan dari tuntutan hukum.
Perawat DS tidak memasang papan nama, tidak ada
STR, dan masih mendirikan balai pengobatan.
Context and importence of the problem
Negara Indonesia adalah
Negara hukum. Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 28H dan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945, kesehatan merupakan hak
konstitusional warga negara dan tanggung jawab bagi negara untuk menyediakan
pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh tenaga
kesehatan, dalam hal ini tenaga perawat. Profesi keperawatan di Indonesia
termasuk tenaga
kesehatan terbesar di Indonesia dari seluruh jumlah tenaga kesehatan yang ada.
Oleh sebab itu, praktik keperawatan profesional harus memiliki otoritas atau
kewenangan, ada kejelasan batasan dan siapa melakukan apa. Oleh sebab itulah PMK Nomor 17 Tahun 2013 Tentang
Perubahan atas PMK Nomor
HK.02.02/MENKES/148/I/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat
diterbitkan.
PMK
No.17 Tahun 2013
Peraturan ini tentang perubahan
atas peraturan menteri kesehatan nomor HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang izin
dan penyelenggaraan praktik perawat. Peraturan ini berisi beberapa perubahan
seperti perawat yang menjalankan praktik mandiri dengan berpendidikan minimal Diploma
III (D III) Keperawatan, perawat hanya dapat menjalankan praktik keperawatan
paling banyak di 1 (satu) tempat praktik mandiri dan di 1 (satu) tempat
fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri. Dalam keadaan darurat
untuk penyelamatan nyawa seseorang/pasien dan tidak ada dokter di tempat
kejadian, perawat dapat melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangan. Bagi
perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter dalam
rangka melaksanakan tugas pemerintah, dapat melakukan pelayanan kesehatan di luar
kewenangan dengan harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan
kemungkinan untuk dirujuk.
Setiap Perawat yang menjalankan
praktik keperawatan di praktik mandiri wajib memiliki SIPP yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota dan berlaku untuk 1 (satu) tempat SIPP
berlaku selama STR masih berlaku dan dapat diperbaharui kembali jika habis masa
berlakunya. SIPP dinyatakan tidak berlaku karena tempat kerja/praktik tidak
sesuai lagi dengan SIPP, masa berlakunya habis dan tidak diperpanjang; dicabut
atas perintah pengadilan; dicabut atas rekomendasi organisasi profesi; atau
dicabut oleh pejabat yang berwenang memberikan izin. Pemerintah dan Pemerintah
derah dapat memberikan tindakan administratif kepada perawat yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan penyelenggaraan praktik dalam peraturan ini.
Untuk memperoleh SIPP Perawat harus
mengajukan permohonan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota dengan
melampirkan:
a) fotocopy
STR yang masih berlaku dan dilegalisasi;
b) surat
keterangan sehat fisik dari dokter yang memiliki Surat
Izin Praktik
c) surat
pernyataan memiliki tempat di praktik mandiri atau di
fasilitas pelayanan kesehatan di
luar praktik mandiri;
d) pas
foto berwarna terbaru ukuran 4X6 cm sebanyak 3 (tiga)
lembar;
e) rekomendasi
dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau
pejabat yang ditunjuk; dan
f) rekomendasi
dari organisasi profesi
Perawat
yang melakukan kelalaian dalam melakukan tindakan pelayanan kesehatan akan
diberikan sanksi sesuai yang dituliskan pada undang-undang. Kelalaian yang dimaksud disini
adalah tidak menghiraukan dan lengah terhadap kewajiban serta bersikap acuh.
Dalam lingkungan pelayanan kesehatan, perawat yang tidak menghiraukan standar
operasional praktik dalam pemberian asuhan dianggap telah melakukan kelalaian
profesional. Perawat yang melakukan kelalaian dianggap telah melakukan malpraktik dalam
pelayanan kesehatan dan bisa dituntut secara hukum. Kelalaian dapat disebut
sebagai bentuk pelanggaran etik ataupun bentuk pelanggaran hukum, tergantung
bagaimana masalah kelalaian itu dapat timbul, maka yang penting adalah
bagaimana menyelesaikan masalah kelalaian ini dengan memperhatikan dari
berbagai sudut pandang, baik etik, hukum, manusianya baik yang memberikan
layanan maupun penerima layanan.
Critics of policy
options
Dasar Hukum Terkait Penyelenggaraan Praktik Perawat
Perawat
menurut UU No. 38 tahun 2014 tentang keperawatan, adalah salah satu tenaga
kesehatan yang memberikan layanan berupa asuhan keperawatan kepada individu,
keluarga, ataupun masyarakat baik sehat maupun sakit. Perawat dalam
melaksanakan peran-perannya selalu dihadapkan dengan dilema etik ataupun oleh
permasalahan
hukum itu sendiri.
Untuk
terhindar dari malpraktik, maka perawat
memberikan layanan sesuai dengan keilmuannya dan pelaksanaan praktik
keperawatan. Pernyataan ini tidak tercantum dalam PMK tersebut
UU No. 36 tahun 2009
tentang kesehatan
Pasal 27: (Tidak tercantum dalam PMK tersebut)
(1) Tenaga
kesehatan berhak mendapatkan imbalan dan pelindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya.
(2) Tenaga
kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban mengembangkan dan
meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
(3)
Ketentuan mengenai hak dan kewajiban
tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan pemerintah
Tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang berwenang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki, wajib memiliki izin dari
pemerintah, serta harus memenuhi ketentuan kode
etik (tidak tercantum dalam PMK tersebut), standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional,
fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan/atau masyarakat.
UU No. 38 tahun 2014
tentang keperawatan
Aspek
perlindungan hukum terhadap profesi ini yang mampu mencegah perawat melakukan
kesalahan dan memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan standar praktik
keperawatan serta memampukan perawat untuk terus mengembangkan kemampuan diri sehingga
kasus kelalaian ataupun malpraktek dapat dihindari.
Seorang
perawat harus memasang papan nama. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, konsil keperawatan,
dan organisasi profesi membina dan mengawasi fungsi dan tugas masing-masing
UU No.36 Tahun 2014
Penyelenggaraan
upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertanggung jawab,
yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan kewenangan yang secara
terus menerus harus ditingkatkan
mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi,
registrasi, perizinan, serta pembinaan,
pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan memenuhi rasa
keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
Perpres
No.90 Tahun 2017
Konsil
Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI); keanggotaan KTKI baik itu konsil keperawatan, farmasi maupun
gabungan tenaga kesehatan (khusus untuk konsil keperawatan keanggotaan diatur
pada pasal 15); tata kerja dan pendanaan KTKI, yang bidang tugasnya; melakukan
pembinaan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik tenaga kesehatan; menyusun
standar nasional pendidikan tenaga kesehatan; menyusun standar praktik dan
standar kompetensi tenaga kesehatan; dan menegakkan disiplin praktik tenaga kesehatan,
mempunyai wewenang menyetujui atau menolak permohonan registrasi tenaga kesehatan,
menerbitkan atau mencabut surat tanda registrasi. Selain itu, dijelaskan juga
bahwa setiap orang atau badan hukum yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan atas tindakan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik
keprofesiannya dapat melakukan pengaduan. Pelanggaran disiplin profesi tenaga kesehatan
dapat berupa pelanggaran terhadap penerapan keilmuan dalam penyelenggaraan
keprofesian meliputi penerapan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku. Dalam
rangka melaksanakan tugas menegakkan disiplin, konsil masing-masing tenaga
kesehatan menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus dugaan pelanggaran
disiplin profesi tenaga kesehatan. (Tidak
tercantum dalam PMK tersebut). Hal ini jelas sekali bahwa dalam
pelaksaannya tidak ada penjelasan siapa yang melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap perawat yang menyelenggarakan praktik mandiri.
Kelalaian (Negligence)
Kelalaian (negligence) adalah sikap individu dalam melakukan
sesuatu yang sebenarnya dapat dia lakukan atau melakukan sesuatu yang dihindari
orang lain (Creighton, 1986). Menurut Hanafiah dan Amir (1999) yang kurang
hati-hati, yaitu tidak melakukan apa kepada seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa kepada seseorang
dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian
lebih bersifat ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak
acuh, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang
ditimbulkan memang bukanlah menjadi tujuannya. Kelalaian bukanlah pelanggaran
hukum atau kejahatan apabila kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau
cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Tetapi jika kelalaian
itu mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang
lain, maka ini diklasifikasikan sebagai kelalaian berat (culpa lata), serius,
dan kriminal.
Suatu perbuatan atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat unsur, yaitu kewajiban (duty) dimana tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau tidak melakukan tindakan tertentu
terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu,
penyimpangan kewajiban (dereliction of
the duty), kerugian (damage) yang
merupakan segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat
dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan, serta hubungan
sebab akibat yang nyata (direct cause
relationship) dimana dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab akibat
antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”.
Malpraktik
Menurut
Black’s Law Dictionary, “Malpractice is an instance of negligence on
incompetence on the part of a profesional”. Ellis dan
Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik
dari kelalaian (neglience) yang
ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang
menunjukkan kinerjanya sesuai bidang tugas atau pekerjaannya. Jadi, malpraktik
lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang, misalnya
perawat, dokter, atau penasihat hukum.
Menurut
Vestal (l995), malpraktek terdiri dari empat unsur
yang harus ditetapkan untuk membuktikan bahwa malpraktek telah terjadi yaitu:
a.
Kewajiban (duty) – Pada saat
terjadinya cedera yang terkait dengan kewajibannya, yaitu kewajiban mempergunakan
segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya
meringankan beban penderitaan pasiennya berdasarkan standar profesi.
b.
Tidak melaksanakan kewajiban (breach of the duty) – Pelanggaran
terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang
seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya.
c. Cedera (injury) – Seseorang mengalami cedera
(injury) atau kerusakan (damage)
dapat menuntut secara hukum jika cedera tersebut sebagai akibat pelanggaran.
d. Sebab-akibat (proximate caused) – Pelanggaran
terhadap kewajibannya menyebabkan atau terkait dengan cedera yang dialami
pasien.
Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995)
mengidentifikasi ada 3 (tiga) area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan
kesalahan, yaitu (1) kesalahan pengkajian keperawatan (assessment errors), (2) kesalahan perencanaan keperawatan (planning errors), (3) Kesalahan
tindakan intervensi keperawatan (intervention
errors).
Kesimpulan
Proses keperawatan harus
berlandaskan pada hukum, peraturan perundang-undangan, dan etika keperawatan
dalam menjalankan asuhan keperawatan sehingga kelalaian dan malpraktik tidak
terjadi dan dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya tuntutan hukum terhadap
praktik keperawatan itu sendiri.
Profesi
keperawatan lebih mengutamakan prinsip kepedulian (caring) kepada pasien yang merupakan inti dari pelayanan asuhan
keperawatan itu sendiri namun tetap memperhatikan keselamatan pasien,
penghormatan terhadap hak-hak pasien sehingga terjadi peningkatan kualitas
asuhan keperawatan dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip etik supaya
tidak merugikan salah satu pihak
Policy recommendations
Untuk
memastikan penyelenggaraan praktik mandiri perawat berjalan sesuai ketentuan,
maka penulis merekomendasikan :
Tabe 1.
Rekomendasi
No
|
Rekomendasi
|
Kekuatan
|
Kelemahan
|
1
|
Penguatan pada
SDM keperawatan itu sendiri baik dari pendidikan formal dan non formal atau
pendidikan berkelanjutan, pelatihan, dan/atau kegiatan ilmiah, serta
pengembangan praktik keperawatan itu sendiri
|
Akan
meningkatkan kompetensi perawat itu sendiri sehingga errors dihindari dan tingkat kepercayaan masyarakat meningkat
|
Tidak
tercantum dalam PMK No 17 Tahun 2013
|
2
|
Penguatan
sosialisasi untuk penyebaran informasi terkait praktik keperawatan
|
Menghindari
kelalaian dan malpraktik
|
Membutuhkan
sumber daya yang banyak seperti biaya, waktu, SDM, dan target
|
3
|
Pengembangan
sistematis akses pengurusan izin praktik perawat melalui perizinan berbasis online terintegrasi
|
Mempersingkat
waktu sehingga lebih efektif dan efisien
|
Membutuhkan
perangkat elektronik dan kemampuan menggunakannya, jaringan internet, perawat yang berada di
daerah terpencil
|
4
|
Penguatan
pencitraan praktik perawat melalui media komunikasi
|
Meningkatkan
kepercayaan masyarakat terhadap kompetensi dan kewenangan perawat
|
Butuh
keterlibatan banyak elemen terkait seperti kementerian kesehatan, perhubungan, kementerian pendidikan dan
kebudayaan, kementerian riset, teknologi, dan pendidikan tinggi, kementerian
komunikasi dan informatika, kementerian bidang pembangunan manusia dan
kebudayaan,
|
5
|
Permenkes No
17 Tahun 2013 yang mengatur tentang penyelenggaraan praktik perawat perlu dievaluasi dan direvisi, mengingat
sudah disahkan UU No 38 tahun 2014 tentang keperawatan
|
· Telah
disahkannya UU No 38 tahun 2014 tentang keperawatan
· Pada
pasal 65 : peraturan pelaksanaan dari UU ini harus ditetapkan palling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan
|
Secara
otomatis PMK ini tidak sesuai dengan UU No 38 tahun 2014
|
6
|
Untuk
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan, melindungi masyarakat atas tindakan
perawat yang tidak sesuai standar, dan memberikan kepastian hukum bagi
perawat dan masyarakat, pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah, konsil keperawatan, dan organisasi profesi perlu
ditingkatkan seperti secara berkala melakukan kunjungan langsung ke tempat
praktik perawat dan laporan berkala
secara berjenjang, untuk mengevaluasi
penyelenggaraan praktik perawat, sehingga tidak ada Praktik perawat “liar”.
|
Akan
didapatkan data yang real terkait
penyelenggaraan praktik perawat sehingga pembinaan dan pengawasan bisa tepat
sasaran/target.
|
Tidak terdapat
dalam PMK No 17 Tahun 2013
|
Berdasarkan
rekomendasi-rekomendasi diatas, penulis memprioriaskan untuk merekomendasikan
merevisi PMK No 17 Tahun 2013, mengingat UU No 38 Tahun 2014 menyatakan bahwa
PMK harus segera diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak UU tersebut
diterbitkan, yang berarti paling lambat tahun 2016 harus sudah diterbitkan PMK
terkait penyelenggaraan praktik perawat.
Appendices
Amir & Hanafiah, (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
edisi ketiga. Jakarta: EGC.
Budhiartie, A. (2009).
Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah
sakit. Jurnal Penelitian Universitas
Jambi Seri Humaniora, 11(2), 45-51.
Creighton, H. 1986. Law Every Nurse Should Know.
Philadelphia: W.B. Saunders
Ellis & Hartley.
(1998). Nursing In Today’s World : 6th ed.
Philadephia: Lippincott
Peraturan Menteri
Kesehatan No 17 Tahun 2013. Izin
Penyelenggaraan Praktik Perawat. Jakarta
Peraturan Presiden No.
90 Tahun 2017. Konsil Tenaga Kesehatan. Jakarta
Perundang-undangan dan
KUHP Perdata. Jakarta
Sari,
S.P. (2015). Tinjauan yuridis terhadap malpraktek yang dilakukan olehperawat
pada rumah sakit swasta (analisis dari perspektif hukum perdata). JOM Fakultas Hukum,II(1), 7-12.
Tonia, Aiken. (1994). Legal,
Ethical & Political Issues in Nursing. 2ndEd. Philadelphia: FA Davis.
Undang-undang Dasar 1945. Jakarta
Undang-undang No 32 tahun 1996. Tenaga Kesehatan. Jakarta
Undang-undang No 39 tahun 1999. Hak Asasi Manusia. Jakarta
Undang-undang No 36 tahun 2009. Kesehatan. Jakarta
Undang-undang No 44 tahun 2009. Rumah Sakit. Jakarta
Undang-undang No 36 tahun 2014. Tenaga Kesehatan. Jakarta
Undang-undang No 38 tahun 2014. Keperawatan. Jakarta
Source consulted / Bibliografi
Deny
Gunawan, S.Kep, Ns adalah alumnus Universitas Sriwijaya, saat ini berstatus
sebagai mahasiswa pascasarjana program magister kepemimpinan dan manajemen
keperawatan Universitas Indonesia. Bekerja di RSUP dr Mohammad Hoesin
Palembang. Penulis juga aktif dalam beberapa penelitian mengenai penelitian
keperawatan. Info lebih lanjut : denygunawan09@gmail.com
/ via Whatsapp : 081273630038