Minggu, 13 November 2016

Raja Suntik


Sembilan Tahun Obati Suku Kubu, 
Dipanggil Raja Suntik

Pengabdian dari dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun ia mengobati Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu di Provinsi Jambi. Bagaimana ceritanya ?!



Tepat pukul 11.00 WIB pada Kamis (10/11) lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai melakukan operasi. “Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai wawancara. Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi dokter hingga saat ini.
Diceritakannya, sewaktu masih menjadi dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun, sekarang menjadi Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat seorang gadis tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan turun untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya ke puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman itulah, dr Marta tertarik mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia mengambil spesialis bedah umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri). Kemudian, dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran ditawari dr Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,” kenangnya. Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali, dirinya mendaftar di Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus. Padahal selama satu tahun dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku urologi.
“Sebenarnya, pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua, tapi mungkin nasib kurang baik,” katanya. Tidak putus asa, suami dari dr Afrimelda MKes ini memilih Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006 hingga 2010.
Dia mengaku, banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo Surabaya. Misalnya, kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut melakukan masturbasi menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian tersebut diatasi menggunakan gerindo yang biasa dipakai di bengkel. “Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di Palembang sekali,” ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah menangani kasus pasien kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata dia, pasien mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia menceritakan, pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih bisa diatasi dengan cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh darah di pangkal besar,” imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali memotong penis di bagian ujung penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang, saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak

terlupakan. Contohnya, waktu itu dalam perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus. dr Marta bersama istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau yang lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan Suku Anak Dalam (SAD) tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani masyarakat tetap diutamakan. Saat itu, ia berprofesi kepala puskesmas yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan komunikasi karena medannya yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT) kepada 34 petugas di pos masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya berkomunikasi untuk konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut. “Saya juga tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat memanggil dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang dipimpinnya saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang perawatan VIP lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan penghargaan Abdi Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya menambahkan, dirinya bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih kata pria kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana tidak mau berobat ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke rumah. “Dengan setia, mereka (pasien) menunggu saya pulang untuk diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah dinasnya bersebelahan dengan puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut bayaran kepada pasien yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit berkomunikasi dengan pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti sedikit-sedikit,” akunya.
Dari pengabdian ini, bungsu empat saudara ini menerima penghargaan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Jambi dari Presiden RI pada 1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak Soeharto,” bebernya.
Dia menambahkan, profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun kedua orang tua dan saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter. Waktu kecil, ada tiga pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan wakil presiden. “Kenapa pilih wakil, soalnya kalau presiden ketinggian. Namun, nasib menjadikan saya sebagai dokter,” pungkasnya sembari tersenyum

Kiki Wulandari – Sumek.Palembang


Pengabdian dari dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun ia mengobati Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu di Provinsi Jambi. Bagaimana ceritanya?
--------
Kiki Wulandari – Palembang
-------
Tepat pukul 11.00 WIB pada Kamis (10/11) lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai melakukan operasi. “Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai wawancara. Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi dokter hingga saat ini.
Diceritakannya, sewaktu masih menjadi dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun, sekarang menjadi Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat seorang gadis tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan turun untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya ke puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman itulah, dr Marta tertarik mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia mengambil spesialis bedah umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri). Kemudian, dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran ditawari dr Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,” kenangnya. Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali, dirinya mendaftar di Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus. Padahal selama satu tahun dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku urologi.
“Sebenarnya, pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua, tapi mungkin nasib kurang baik,” katanya. Tidak putus asa, suami dari dr Afrimelda MKes ini memilih Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006 hingga 2010.
Dia mengaku, banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo Surabaya. Misalnya, kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut melakukan masturbasi menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian tersebut diatasi menggunakan gerindo yang biasa dipakai di bengkel. “Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di Palembang sekali,” ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah menangani kasus pasien kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata dia, pasien mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia menceritakan, pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih bisa diatasi dengan cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh darah di pangkal besar,” imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali memotong penis di bagian ujung penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang, saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak 
terlupakan. Contohnya, waktu itu dalam perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus. dr Marta bersama istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau yang lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan Suku Anak Dalam (SAD) tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani masyarakat tetap diutamakan. Saat itu, ia berprofesi kepala puskesmas yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan komunikasi karena medannya yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT) kepada 34 petugas di pos masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya berkomunikasi untuk konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut. “Saya juga tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat memanggil dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang dipimpinnya saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang perawatan VIP lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan penghargaan Abdi Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya menambahkan, dirinya bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih kata pria kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana tidak mau berobat ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke rumah. “Dengan setia, mereka (pasien) menunggu saya pulang untuk diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah dinasnya bersebelahan dengan puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut bayaran kepada pasien yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit berkomunikasi dengan pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti sedikit-sedikit,” akunya.
Dari pengabdian ini, bungsu empat saudara ini menerima penghargaan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Jambi dari Presiden RI pada 1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak Soeharto,” bebernya.
Dia menambahkan, profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun kedua orang tua dan saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter. Waktu kecil, ada tiga pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan wakil presiden. “Kenapa pilih wakil, soalnya kalau presiden ketinggian. Namun, nasib menjadikan saya sebagai dokter,” pungkasnya sembari tersenyum
- See more at: http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/23460-sembilan-tahun-obati-suku-kubu-dipanggil-raja-suntik#sthash.u41mw2iD.dpuf
skemas yang dipimpinnya saat itu sudah dilengk
Pengabdian dari dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun ia mengobati Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu di Provinsi Jambi. Bagaimana ceritanya?
--------
Kiki Wulandari – Palembang
-------
Tepat pukul 11.00 WIB pada Kamis (10/11) lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai melakukan operasi. “Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai wawancara. Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi dokter hingga saat ini.
Diceritakannya, sewaktu masih menjadi dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun, sekarang menjadi Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat seorang gadis tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan turun untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya ke puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman itulah, dr Marta tertarik mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia mengambil spesialis bedah umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri). Kemudian, dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran ditawari dr Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,” kenangnya. Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali, dirinya mendaftar di Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus. Padahal selama satu tahun dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku urologi.
“Sebenarnya, pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua, tapi mungkin nasib kurang baik,” katanya. Tidak putus asa, suami dari dr Afrimelda MKes ini memilih Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006 hingga 2010.
Dia mengaku, banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo Surabaya. Misalnya, kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut melakukan masturbasi menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian tersebut diatasi menggunakan gerindo yang biasa dipakai di bengkel. “Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di Palembang sekali,” ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah menangani kasus pasien kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata dia, pasien mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia menceritakan, pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih bisa diatasi dengan cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh darah di pangkal besar,” imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali memotong penis di bagian ujung penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang, saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak 
terlupakan. Contohnya, waktu itu dalam perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus. dr Marta bersama istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau yang lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan Suku Anak Dalam (SAD) tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani masyarakat tetap diutamakan. Saat itu, ia berprofesi kepala puskesmas yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan komunikasi karena medannya yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT) kepada 34 petugas di pos masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya berkomunikasi untuk konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut. “Saya juga tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat memanggil dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang dipimpinnya saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang perawatan VIP lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan penghargaan Abdi Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya menambahkan, dirinya bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih kata pria kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana tidak mau berobat ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke rumah. “Dengan setia, mereka (pasien) menunggu saya pulang untuk diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah dinasnya bersebelahan dengan puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut bayaran kepada pasien yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit berkomunikasi dengan pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti sedikit-sedikit,” akunya.
Dari pengabdian ini, bungsu empat saudara ini menerima penghargaan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Jambi dari Presiden RI pada 1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak Soeharto,” bebernya.
Dia menambahkan, profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun kedua orang tua dan saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter. Waktu kecil, ada tiga pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan wakil presiden. “Kenapa pilih wakil, soalnya kalau presiden ketinggian. Namun, nasib menjadikan saya sebagai dokter,” pungkasnya sembari tersenyum
- See more at: http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/23460-sembilan-tahun-obati-suku-kubu-dipanggil-raja-suntik#sthash.u41mw2iD.dpuf
Pengabdian dari dr Marta Hendry SpU patut diacungi jempol. Selama sembilan tahun ia mengobati Suku Anak Dalam (SAD) atau lebih dikenal sebagai Suku Kubu di Provinsi Jambi. Bagaimana ceritanya?
--------
Kiki Wulandari – Palembang
-------
Tepat pukul 11.00 WIB pada Kamis (10/11) lalu, dokter yang bertugas di RSMH Palembang usai melakukan operasi. “Nanti ya, saya cuci tangan dulu,” katanya sebelum memulai wawancara. Sambil duduk dan beristirahat di Ruangan Bedah RSMH, dr Marta--biasa dirinya disapa--menceritakan pengalamannya yang penuh warna menjadi dokter hingga saat ini.
Diceritakannya, sewaktu masih menjadi dokter umum di Desa Muara Siau, Kabupaten Sarolangun, sekarang menjadi Kabupaten Bangko, saat mengemudi mobil Hardtop, melihat seorang gadis tergeletak di pinggir hutan. Ia pun menghentikan kendaraannya dan turun untuk memeriksa gadis tersebut. Setelah diperiksa, ternyata gadis itu menderita tumor ginjal (wilms). “Saya langsung membawa dan mengobatinya ke puskesmas,” tuturnya.
Dari pengalaman itulah, dr Marta tertarik mengambil spesialis bedah. Pada 2002-2005, ia mengambil spesialis bedah umum di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK Unsri). Kemudian, dirinya melanjutkan mengambil spesialis urologi lantaran ditawari dr Didit dan dr Rizal yang juga dari spesialis urologi.
“Saya ingat betul, tawaran itu ketika saya pulang dari musibah tsunami di Aceh,” kenangnya. Untuk mendapatkan spesialis itu tidak mudah. Pertama kali, dirinya mendaftar di Universitas Indonesia (UI). Sayangnya belum lulus. Padahal selama satu tahun dirinya mempersiapkan diri dengan membaca buku urologi.
“Sebenarnya, pertanyaan ujian masuk itu saya jawab semua, tapi mungkin nasib kurang baik,” katanya. Tidak putus asa, suami dari dr Afrimelda MKes ini memilih Universitas Airlangga (Unair) Surabaya untuk mewujudkan menjadi spesialis urologi dari 2006 hingga 2010.
Dia mengaku, banyak kasus yang ditemui selama belajar di RSUD Soetomo Surabaya. Misalnya, kasus seperti penis kejepit di pipa. Pasien tersebut melakukan masturbasi menggunakan pipa ledeng. Uniknya, kejadian tersebut diatasi menggunakan gerindo yang biasa dipakai di bengkel. “Kasus ini saya temui di Surabaya sekali, di Palembang sekali,” ungkapnya sambil tertawa.
Ia juga pernah menangani kasus pasien kelainan jiwa yang memotong penis sendiri. Mungkin, kata dia, pasien mengalami ilusi sehingga yang dilihat seekor ular, makanya pasien memotong. Kejadian itu terjadi dua kali dengan pasien yang sama.
Ia menceritakan, pertama pasien memotong di arah pangkal. Kasus ini masih bisa diatasi dengan cara menyambung. “Ini bisa dilakukan karena pembuluh darah di pangkal besar,” imbuhnya. Dua bulan kemudian, pasien kembali memotong penis di bagian ujung penis. “Ini tidak bisa disambung, hanya bisa diperbaiki,” paparnya.
Ia mengenang, saat masih menjadi dokter di Jambi, banyak pengalaman lain yang tidak 
terlupakan. Contohnya, waktu itu dalam perjalanan di hutan, tiba-tiba tali gas mobil putus. dr Marta bersama istri dan anaknya yang masih berusia satu tahun melihat harimau yang lewat di depan mobilnya. “Tidak bisa diungkapkan rasanya melihat harimau berjalan di depan mobil cuma berjarak kurang dari 10 meter,” ungkapnya.
Lebih jauh dikatakannya, menjadi seorang dokter dan bergaul dengan Suku Anak Dalam (SAD) tidaklah sulit. Kunci utama untuk melayani masyarakat tetap diutamakan. Saat itu, ia berprofesi kepala puskesmas yag melayani 34 desa.
Karena kesulitan komunikasi karena medannya yang berat, dirinya memberikan handy talky (HT) kepada 34 petugas di pos masing-masing. Petugas yang di pos selanjutnya berkomunikasi untuk konsultasi keluhan yang dihadapi masyarakat desa tersebut. “Saya juga tetap mengunjungi desa-desa itu. Kalau saya datang, masyarakat memanggil dengan sebutan Raja Suntik,” katanya tertawa.
Puskemas yang dipimpinnya saat itu sudah dilengkapi dengan ruang emergency dan ruang perawatan VIP lengkap dengan peralatannya. “Karena itu, kami mendapatkan penghargaan Abdi Setia Bakti mewakili Provinsi Jambi,” terangnya seraya menambahkan, dirinya bertugas di di Jambi sekitar 9 tahun.
Masih kata pria kelahiran 1 Maret 1968 ini, ada beberapa masyarakat di sana tidak mau berobat ke puskemas. Malah, mereka memilih berkunjung ke rumah. “Dengan setia, mereka (pasien) menunggu saya pulang untuk diobati,” tuturnya.
Apalagi rumah dinasnya bersebelahan dengan puskesmas. Selain itu, dirinya juga tidak memungut bayaran kepada pasien yang berobat di rumah. Ia mengaku, tidak sulit berkomunikasi dengan pasien dari SAD. “Kalau bahasa mereka, saya ngerti sedikit-sedikit,” akunya.
Dari pengabdian ini, bungsu empat saudara ini menerima penghargaan Dokter Teladan Tingkat Provinsi Jambi dari Presiden RI pada 1996. “Waktu itu, presidennya masih Pak Soeharto,” bebernya.
Dia menambahkan, profesi dokter sangat didukung oleh keluarga. Meskipun kedua orang tua dan saudaranya tidak ada yang berprofesi sebagai dokter. Waktu kecil, ada tiga pilihan cita-cita, yakni insinyur, dokter, dan wakil presiden. “Kenapa pilih wakil, soalnya kalau presiden ketinggian. Namun, nasib menjadikan saya sebagai dokter,” pungkasnya sembari tersenyum. (*/ce1)
- See more at: http://www.sumeks.co.id/index.php/sumeks/23460-sembilan-tahun-obati-suku-kubu-dipanggil-raja-suntik#sthash.u41mw2iD.dpuf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar